Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2009

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Agama, Oh, Agama

  Saya tidak akan seberapa skeptiknya pada agama, jika bukan pengalaman yang berbicara. Maksudnya, ajaran agama pastinya bagus dan baik. Hanya soal apakah itu benar tidaknya, ujung-ujungnya pengalaman yang jadi pegangan. Bahkan dalam situasi tertentu, bagus dan baik dalam agama toh bisa dipertanyakan juga.    Sepengalaman saya, saya pernah lumayan beragama, entah istilahnya tepat atau tidak, tapi pernahlah saya rajin semua-muanya urusan ritual. Oh ya, saya dibesarkan dalam tradisi agama Islam. Saya menemukan banyak ayat yang menyuruh kita untuk 'berpikir' dalam Al-Qur'an. Tapi kenyataannya, dalam konstruksi sosial yang dibangun di kita, berpikir kadang-kadang disama artikan dengan melawan iman. Artinya, gausah banyak mikir lah, terima saja.   Awalnya begini, kala itu saya masih SMP. Dalam pelajaran agama Islam, saya ingat sekali nama gurunya, sama dengan saya: Syarif. Saat itu beliau sedang mengajarkan topik tentang iman. Di akhir pelajaran, sang guru menawarkan: siapa mau

Imam Samudra

Bom baru saja meledak lagi. Tak perlulah saya runut lagi kejadiannya jika sudah pada nonton tivi hari ini. Dugaan pelaku masih simpang siur. Dalam pernyataannya, SBY mengindikasikan pelakunya berkaitan dengan pilpres. Namun adapun, versi yang lebih banyak, ini adalah kegiatan terorisme, karena ditemukannya bukti bom bunuh diri. Bom bunuh diri, perlu diakui dengan menyedihkan, adalah cara bagi golongan tertentu untuk mati syahid. Mati syahid, konon, dalam agama Islam, masuk surga. Apapun alasannya, tentu sulit diterima bagi orang kebanyakan, termasuk kita, yang beragama dengan cara biasa-biasa saja. Meski demikian, barangkali, bisa saja karena kebanyakan dari kita yang kelewat emosi atas perbuatan mereka, maka sulit untuk berpikir jernih dan mencoba memahami apa yang ada di kepalanya. Bukti sudah jelas: mereka membunuh secara massal, dan tak penting lah tahu motifnya, apalagi jika tahu itu soal agama, semakin skeptislah. Soal bom bunuh diri, -karena pelaku pemboman JW Marriott-Ritz Carl

The Curious Case of Benjamin Button: Memuda itu Biasa

Film ini sungguh absurd, non-sensical , dan menggelitik kesadaran. Alkisah, seorang wanita berumur 81 tahun bernama Daisy sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Nenek itu bercerita lirih pada putrinya yang berusia 37 tahun, bernama Caroline. Flashback pun dimulai. 11 November 1918, di saat bersamaan kala orang-orang di New Orleans merayakan berakhirnya PD I, lahirlah bayi yang digambarkan tak wajar dan buruk rupa. Ayahnya, Thomas Button, enggan mengurusnya dan menyimpannya di sembarang tempat. Akhirnya bayi itu dipungut oleh seorang perawat kulit hitam bernama Queenie. Setelah diperiksa dokter, ternyata kondisi bayi yang kelak dinamai Benjamin itu, persis seperti kakek berusia 85 tahun. Ketaklaziman pun dimulai, tak seperti makhluk hidup umumnya yang bertumbuh menjadi tua, Benjamin justru tumbuh muda. Baginya, waktu berjalan mundur. Dalam perjalanan menjadi muda itu, ia bertemu dengan seorang pelaut bernama Captain Mike. Oleh Mike, diajarilah Benjamin, orangtua itu, bekerja di kapal

Mitologi Yunani: Dua Belas Dewa Olympus

Saya selalu mencintai mitologi Yunani (selanjutnya akan disebut mitologi saja). Kenapa? Karena cerita-cerita dalam mitologi seru dan asyik, itu saja. Saya akan senang berbagi tentang kisah-kisahnya di blog ini, karena dengan ikut serta bercerita, saya pun jadi memahaminya lebih. Tentu saja kisah ini hanya petikan semata. Karena, sungguh, mitologi dimuat dalam banyak versi, dan jika digabungkan, tebalnya bukan main. Saya coba bikin ini berseri, tak lain untuk merangsang diri saya sendiri. Mohon masukkan dan sarannya jika terjemahan saya ini termuat kesalahan. Untuk saya, yang penting keren. --- "Mitologi tak percaya Dewa adalah pencipta alam semesta, melainkan sebaliknya. Alam semesta menciptakan Ouranus (langit) dan Gaia (bumi), dari sana lahirlah para raksasa yang dinamakan The Titans (terdengar seperti budaya pop). Dewa-dewa kemudian adalah anak para Titan, alias cucu Langit dan Bumi. Titan jumlahnya sangat banyak. Namun yang sering diceritakan adalah berikut ini: Cronus ,

Michael Jackson

Michael Jackson mustahil tercipta lagi. Secara harafiah, iya, tapi iyapun secara metafor. Mengapa? Saya ingat, ingat betul; di suatu kelas, kala mengajar, saya bertanya pada murid-murid tersayang: "Muridku, apakah musik pop itu?" (Terdiam mereka semua) "Jika begitu, sebutkan ciri-ciri musik pop!" "Enak!" "Mudah dicerna!" "Cinta!" "Mudah dimainkan!" "Oke, muridku, Jadi apa pop itu?" (Tetap terdiam) "Tahukah kalian, kelompok musik bernama Prodigy?" "Tahuuuuuuuuuu, Kaaaaak!" "Kalau berbicara aliran musik, masuk manakah mereka?" "Techno, Kak!" "Oh, Andika, apa itu techno?" "Adalah, musik yang menggunakan efek-efek elektronik." "Pintar! Lantas, muridku, pastilah semua tahu Britney Spears kan?" (Serentak menjawab tahu) "Adakah unsur techno di dalamnya?" "Adaaaaa, Kaaaaak!" "Lalu, saya bertanya, mengapa Britney Spears disebut pop,