Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2009

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Wajah

"Eh, ketemuan aja yuk? Gak enak nih ngobrolnya via telepon." Sepertinya kita sering mengucapkan petikan kalimat tersebut, terutama jika menyoal urusan bisnis atau perumusan ide-ide tertentu. Meski secara teknis kesepakatan bisa diperoleh lewat kecanggihan teknologi belakangan, tapi sebuah pertemuan tetap punya kekuatan, yang intinya: saya ingin melihat wajahmu. Atau dalam konteks orang berkasih-kasihan, seringkali ada perasaan ingin jumpa ketika sekian lama SMS-an atau chatting . Bertemu berarti punya kesempatan merasa secara fisik, tapi juga berarti: saya ingin melihat wajahmu. Di koran, ada berita gempa di suatu daerah. Orang yang mengetahuinya dengan deskripsi keadaan dan angka-angka korban jiwa lewat teks berita, akan sangat berbeda dengan ia yang pergi ke daerah bencana, mendeskripsikan langsung lewat subjektivitasnya, lantas punya sedikit harapan pada para korban: saya ingin melihat wajahmu. Dulu, saya tak pernah betul-betul memikirkan arti seraut wajah. Yang saya tahu

Alienasi

"Neraka manusia modern, adalah saat ketika di tengah rutinitas ia bertanya: 'apa gerangan yang sedang saya lakukan?'" (Albert Camus) Awalnya saya tidak tertarik isu ini, sebelum ada pengalaman eksistensial dengan seorang teman. Saat itu, kami dekat cukup lama: sering mengobrol bersama, soal ini itu, penuh canda tawa. Semua berubah, ketika ia dapat panggilan kerja di Jakarta. Gajinya bagus sekali untuk seorang yang baru lulus setahunan, yakni seribu dolar per bulan. Perusahaan apa itu tepatnya, entahlah, tapi katanya konsultan internasional. Kerjanya interpreter alias penerjemah. Jam kerjanya padat dari jam delapan pagi, dan bisa berakhir hingga sepuluh malam. Tapi katanya, gaji sebesar itu sepadan. Jadilah saya melepas kepergiannya dengan sederhana karena, ah, Jakarta kan cuma dua jam perjalanan. Hari demi hari, bulan demi bulan, terasa ada yang berubah. Ia ditelpon tak bisa, disms tak dibalas, chatting di YM sempat sesekali, tapi selalu buru-buru. Saya merasa keha

Mitologi Yunani: Eros, The Graces, dan The Muses

Telah diceritakan sebelumnya, bahwa Dua Belas Dewa Olympus adalah yang utama dalam mitologi Yunani. Namun, hanyakah kedua belas itu? Tidak, tidak, masih amat banyak ragam dewa-dewi. Berikut ada beberapa lagi, yang sepertinya membuat manusia mencintai kehidupan dan ingin terus abadi: Eros (Dewa Cinta) : Biasa disebut Cupid dalam bahasa latin. Homer tak bercerita apa-apa tentangnya, tapi ini tertulis dalam tulisan Hesiod. Eros biasanya digambarkan buta atau ditutup matanya, kemungkinan karena analogi cinta yang membutakan. Biasanya, eksistensi kisah dalam mitologi diperkuat oleh puisi-puisi, namun soal Eros, filsuf Plato yang bercerita: "Eros membuat rumah dalam hati para pria, semuanya, kecuali mereka yang keras hatinya. Kehebatan Eros adalah, ia tak pernah salah. Wahai para pria, layanilah ia, maka sentuhan cinta membuatmu tak pernah berjalan dalam kegelapan." Meski demikian, puja puji Plato tak tepat benar dengan cerita Hesiod, malah sebaliknya: Hatinya iblis, tapi lidahnya

Merayakan Tubuh

Resital yang digalaukan berakhir jua. Saya takkan membahas hasil atau review si acara, apalagi analisis. Ini tulisan tentang bagaimana keadaan tubuh saya pra dan pasca konser, yang mana terasa bedanya. Mulai dari sebulan sebelum acara, saya bersikap keras pada tubuh. Ia didisiplinkan terus menerus lewat jadwal latihan nan ketat. Tidur malam seringkali kurang akibat latihan, dan esoknya mesti bangun pagi sekali, juga untuk latihan. Oh, saya sedang membicarakan latihan dalam format trio dan kuartet, ini belum latihan sendiri sebelum latihan. Ah pokoknya latihan dan latihan. Pada titik kelelahan yang amat sangat, tersadar ada benarnya mensana in corporesano : Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat, atau jika dibalik: Kala tubuh luluh lantak, jiwa kehilangan tempat berpijak. Dalam konteks tertentu, tetek bengek dualisme (Cartesian terutama), bahwa tubuh dan jiwa adalah berbeda, bisa benar juga. Namun, bagi saya, itu semata-mata untuk keperluan praktis. Ketika saya sakit demam

Resital, Oh, Resital

Lusa nanti saya resital. Tulisan ini bukan soal promosi, karena lama-lama saya sadar juga, tak cuma info resital itu saja yang mesti dibagi, -agar penonton berdatangan- melainkan perasaan-perasaan menjelang resital. Oh, apa itu resital? Saya sering dengar, tapi juga tak tahu jelas apa artinya. Tapi yang pasti, resital itu pertunjukkan musik, seringnya klasik. Dan katanya, mesti sendiri, serius, pokoknya levelnya diatas istilah "konser". Entahlah mengapa saya menamainya resital, mungkin agar keren saja. Resital nanti formatnya ensembel gitar, ada trio ada kuartet. Kami telah mempersiapkannya sekitar enam bulan. Saya bersama Bilawa, Pak Widjaja dan Royke. Suka duka sudah dilalui, dan tinggal dua hari, saya bertanya: akan berakhir di mana suka duka ini? suka atau duka? Sombongnya, ini resital saya yang keempat dalam empat tahun terakhir. Kenapa boleh sombong? Karena penyelenggaraan resital sungguh tak mudah. Kau mesti menyiapkan minimal enam tujuh repertoar untuk durasi sekitar