Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Pulang mengantar kedua kawan, saya terhenti di Palasari. Sebuah kawasan pertokoan yang terkenal dengan buku-buku murah, pasar, dan kios-kios tempat menjual bunga. Hari itu hari minggu, jam sembilan malam. Toko itu masih buka, seperti yang sudah saya duga. Toko yang saya maksud adalah toko bunga, yang saya lebih senang menyebutnya dengan kios. Meski kios-kios itu terletak di pojok jalan, tapi cahayanya terang benderang. Cukup mencolok di tengah gelap gulita padamnya lampu dari pasar dan toko buku, yang telah menyetop perniagaan sejak sore. Saya turun dari mobil, setelah parkir di pinggir jalan. Ada banyak kios, sekitar enam atau tujuh kalau tidak salah. Tapi entah dorongan darimana, saya memilih untuk masuk ke kios yang penjualnya berlogat Jawa. Sepertinya juga, karena mawar yang ia pajang merahnya menggoda. Dibanding yang lainnya, padahal sama-sama merah. Oke, saya mulai memilih-milih mawar yang disimpan dalam ember. Ada beberapa warna, tapi saya hanya ingin merah. Katanya sih, merah m