Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Lelaki itu Bernama Adam


Bayangkan bayangkan. Adam hidup sendirian. Ia baru saja dibuang. Dari surga yang buah-buahan dan susu sedemikian dihamparkan. Turun ia ke bumi, ke dunia yang kejam dan keji. Kemana Hawa? Tuhan punya rahasia. Meski keduanya makan khuldi bersamaan, tapi Tuhan hanya memilih Adam. Ia berdosa, Hawa juga iya. Tapi Tuhan punya rahasia.

Demikian Adam hidup di bumi. Bercocok tanam dan berburu binatang. Disertai luka di hati, karena lepas dari nikmatnya surgawi. Adapun ia tak henti bersedu sedan, karena tiada lagi teman. Hawa yang cantik dan satu itu, entah kenapa tak diturunkan Tuhan. Ia juga kesal pada Hawa, iri tepatnya. Karena kami sama-sama makan khuldi. Sama-sama terbujuk setan terkutuk. Tapi kenapa ia tetap berada di surga? Atau malah ia ada di neraka? Pikiran terakhir itu membuatnya bingung. Entah lega atau sedih. Ia tak mau Hawa berada di neraka, tapi merasa tak adil jika dirinya bernasib lebih buruk atas suatu perbuatan yang sama.

Mengapa aku memakan buah itu? Padahal rasanya tak begitu enak. Pahit campur asam sekaligus. Buah-buahan di surga biasanya manis adanya. Dan kenapa juga, ya Tuhan, kau ciptakan buah macam itu di surga yang katanya tak ada dosa dan prahara? Yang mana kata-Mu, cuma ada bahagia dan senang belaka? Tidakkah kata-Mu, nafsu itu dihempaskan entah kemana, dan setan terpenjara dalam neraka, sehingga tak bisa bercampur dalam alam surga? Ah, Tuhan. Bolehkah kusebut kau pembual?

Demikian Adam hidup di bumi. Bersedu sedan setiap hari. Meratapi nasibnya yang tak lagi sama. Dahulu apa-apa tinggal minta. Tinggal berkehendak. Sekarang kehendak adalah penjara. Kehendak adalah siksaan. Kehendak berarti perjuangan. Dan pemuasan kehendak adalah kebahagiaan sesaat. Sesaat sebelum kehendak itu muncul lagi. Seringnya lebih besar. Hingga akhirnya, Tuhan berbicara jua. Menurunkan Hawa di tengah padang rumput. Di bawah pohon yang tumbuh di sekeliling oase. Adam terkejut, di tengah lapar dahaga yang tengah melanda. Yang ia tak tahu lagi mesti berbuat apa. Karena binatang sedang susah diburu, tanaman sedang tidak ada bisa dimakan, dan air sedang kering karena musim panas.

Adam memburu, ke oase itu. Dalam keadaan campur aduk, sebelum ia kenal perasaannya: aku rindu. Rindu akan seseorang yang bisa diajak cerita dan berbagi. Soal keluh kesah dunia, yang ternyata tak semanis surga. Lalu mereka beradu mata, berpeluk mesra, berpagutan tanpa ampun. Seolah Adam telah memendam duka mendalam, dan melepasnya dalam sekali pertemuan.

“Kemana saja kau, Hawa?”
“Tidak tahu, Adam. Aku tidak ingat apa-apa semenjak buah itu kita makan.”
“Ah, sudahlah, yang penting temani aku saja ya. Disini sepi dan gersang. Semua mesti diusahakan, dan tidak bisa tinggal minta seperti di surga.”
“Tidak apa, Adam. Lebih baik begitu. Tidakkah bosan ketika di surga yang ada cuma hamparan kebahagiaan? Yang mana saking bosannya, kita minta Tuhan menyediakan tempat bercocok tanam. Agar kita sedikit berpeluh menanam padi dan tanaman, melihatnya tumbuh berkembang di musim-musim tertentu, lalu memetiknya ketika panen, dalam keadaan girang yang sangat. Padahal sadarkah, kita bisa langsung minta nasi kalau mau? Nasi dan lauk pauknya yang lengkap.”
“Ya, Hawa. Di dunia ini memang ada baiknya juga. Karena kehendak dan kenyataan selalu bersinggungan. Di surga, kehendak adalah sama dengan kenyataan. Yang kita mau adalah yang terjadi. Tapi disini, anehnya, ada nikmatnya juga demikian. Karena tugas kita tak henti-hentinya mempersatukan yang hendak dan yang nyata.”
“Jika demikian, mari kita mulai, Adam. Kita perpanjang usia, kita bercocok tanam dan pertahankan hidup kita. Dan terpenting, lanjutkan keturunan dengan beranak pinak.”

Demikian Adam dan Hawa hidup bersama. Bersama mempersatukan apa yang nyata dan apa yang dikehendaki. Mereka belajar tentang seluk beluk dunia, dan terkadang menjadi takut membicarakan surga. Adam tak takut lagi dunia, dan surga menjadi masa lalu yang menjadi kenangan mereka berdua. Hingga akhirnya, Adam melihat wanita. Bukan, bukan Hawa yang ia maksud. Tapi seorang berkulit legam, yang mana akhirnya mereka kenalan sambil merasa ada keanehan. Adam mendadak kenal manusia lain, selain Hawa yang ia muliakan.

Namanya, ia tak tahu namanya siapa. Tapi Adam menamai dengan Zulaikha. Bersama Adam dan Zulaikha berburu rusa, sementara Hawa bercocok tanam. Menjelang petang mereka pulang, bertemu di gubuk yang terbuat dari ranting-ranting. “Hawa, kenalkan, ini Zulaikha. Aku menemukannya di hutan tadi. Ia kebingungan dan ketakutan. Bolehkah kita menampungnya?” Hawa membolehkan, tapi ia juga merasa ada keanehan. Adam ternyata bukan satu-satunya manusia. Ia kenal lainnya, yang sejenis ia. Yang berarti bisa bersama Adam melanjutkan keturunan. Ia tak kenal suatu perasaan aneh dalam dirinya, yang di sisi lain tak ingin Zulaikha ikut serta.

Esoknya Adam menemukan lagi, wanita berambut pirang di hutan dekat gua. Tampak kebingungan, Adam bertanya namanya. Lalu dijawab, “Europa”. Matanya biru dan kulitnya putih. Adam mengajak berburu rusa, dan kemudian membawanya pulang. Zulaikha dan Hawa terkejut. Terkejut melihat manusia lainnya, dan terkejut karena ada bagian dari diri mereka yang tak mau Adam membagi perhatiannya.

Begitu kemudian setiap harinya, Adam membawa pulang wanita demi wanita. Ada yang ia temukan di pinggir sungai, kaki gunung, hingga di dahan pepohonan. Berkulit warna beda-beda, dan membuat Adam tertarik dengannya. Ia membawa pulang semuanya, satu per satu, hingga akhirnya rumah rantingnya ramai dengan banyak wanita. Bergantian pula masing-masingnya menemani Adam berburu rusa. Sementara Adam berburu rusa, yang lain bisa berburu hewan-hewan yang lebih jinak seperti kambing atau babi. Lebih banyak yang Adam mesti nafkahi. Terkadang yang satu merengek, yang satu sedang ingin disetubuhi, yang satu sedang ingin Adam memijiti dan bersikap romantis.

Hawa sering termenung sendirian. Meratapi nasibnya yang mengherankan. Ia tak berhenti bertanya pada Tuhan, kenapa Adam tak jadi temannya seorang? Perhatiannya jadi terbagi, pada wanita-wanita yang entah darimana. Hawa berteman baik dengan semua, dengan masing-masing wanita. Tapi selalu ada batin yang tergurat. Ketika Adam memberi makan bagi semua, atau mengistimewakan satu darinya, atau kala bersetubuh dengan wanita lainnya.

Hingga akhirnya Hawa tak tahan, dan bertanya pada Adam, “Aku tak tahan. Melihat kau berbagi dengan semua. Padahal aku datang untuk menemanimu seorang. Dan tentu dengan harapan kau menemaniku seorang pula.” Adam berkata tenang, “Hawa, apakah kau akan membiarkan wanita yang terbujur sendirian, kebingungan tak tahu kawan? Bagaimana jika ia dimangsa hewan buas?”

Hawa tak menjawab. Tak berdebat. Karena ia tahu Adam ada benarnya. Tapi ia juga tahu perasaannya mengatakan ada yang salah. Hingga akhirnya Hawa pergi tanpa pamit. Meninggalkan wanita-wanita yang sedang tidur nyenyak bertumpukan di gubuknya yang sekarang sudah terbuat dari kayu yang kokoh. Adam entah dimana, ia tak peduli. Hawa pergi mengendap. Pergi entah kemana yang iapun tak tahu harus kemana. Yang penting jauh darinya, dari Adam yang tiada lagi membahagiakannya.

Hawa berjalan jauh sudah. Berhari-hari, berpetang-petang, bersenja-senja. Melampaui gunung terjal, sungai deras, dan sengat panas. Hingga akhirnya ia menemukan pria berkulit legam, yang ia keheranan karena mengingatkannya pada Adam. Ia berkenalan, namanya, “Jamal”. Jamal mengajak Hawa menemaninya, tapi Hawa menolak. Ia meneruskan perjalanan entah kemana, dan hatinya hanya teringat Adam.

Di jalan Hawa bertemu banyak pria-pria lainnya. Kulitnya putih, ada yang kuning juga. Ada yang bermata sipit, ada yang bermuka bintik. Tapi Hawa terus berjalan, sambil sesekali mencari air atau membunuh hewan. Berharap ia bisa menemukan Adam sendirian di ujung dunia. Adam yang pertama kali ia temukan sendirian dan berharap akan bersamanya sendirian pula. Hingga akhirnya, dalam suatu momen istirahat, ketika tidur nyenyak ia terjaga pelan-pelan. Dan seperti biasa, ia selalu memanggil Adam dalam bisikan. Tapi sontak sekarang ia tak berkubang lama dalam kenangan. Ia ingat bahwa pria-pria yang ia temui, juga mencari teman. Teman yang rupanya, barangkali, wanita-wanita yang sekarang sedang mendiami rumahnya dengan sesak. Wanita yang ditemukan Adam terlantar dan telanjang. Demikian ia sadar bahwa Tuhan menurunkan semuanya berpasangan. Berpasangan hanya jika mereka, wanita-wanita yang tak tahu menahu dan kebingungan itu, tidak terburu-buru memenuhi ajakan Adam untuk mencari aman. Mereka mesti berjuang ke ujung dunia, dan tak terbujuk rayuan Adam. Adam yang tak mau peduli luasnya dunia. Atau membiarkan wanita-wanita itu melihat luasnya dunia. Dunia yang sebenarnya diciptakan agar wanita masing-masing bisa menemukan tempatnya.

Hawa melanjutkan perjalanan. Mengubur Adam dalam kenangan.




sumber gambar: http://goldenstate.files.wordpress.com/2008/12/rubens_-_adam_et_eve.jpg

Comments

  1. Syarif, makin bagus tulisannya! Sepertinya elu memperlakukan ayat-ayat di kitab suci sebagai metafor, yang bisa terus ditafsirkan dan diceritakan kembali dalam konteks baru dengan kritis. Dengan perlakuan seperti ini justru ayat-ayat itu jadi tetap 'hidup'. Gw suka banget baca 'trend' tulisan elu yang sekarang.

    ReplyDelete
  2. Tengkyu Andika, iya memang sepertinya kehidupan sudah semakin kompleks, dan kitab suci tetap "disitu-situ aja". Di satu sisi, memang bagus sebagai pegangan. Dalam artian, yang namanya pegangan, harus kokoh, harus tetap. Tapi di sisi lain, orang sudah menganggap kitab ini ketinggalan jaman. Sehingga kadang-kadang mesti ditafsir ulang secara lebih dinamis, digabung juga dengan cerita-cerita chicklit ala sekarang hahahaha. Yang pasti, biar gak naif aja melihat sosok-sosok nabi. Biar diingatkan juga bahwa mereka punya sisi manusiawi. Konon, Pria kan punya kemampuan seleksi pasangan yang lebih rendah dari wanita, jadi mari bayangkan jika Adam mau dengan Hawa karena tidak ada pilihan? hehehe. Makasi sekali lagi Andika..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1