Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Oh, judul yang norak. Tapi saya tak bisa menemukan yang lebih baik.
Hari Jumat adalah hari yang menyenangkan selain hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu. Karena salah satunya, hari itu adalah hari yang mana saya pilih untuk libur. Tak ada kegiatan terikat, kecuali tampil reguler di malam harinya. Maka itu saya sengaja bermalas-malasan di pagi harinya. Lama di tempat tidur, atau berjalan keliling kamar. Sekedar berpikir, mencari inspirasi, atau membuat pegal kaki. Sampai tiba-tiba, saya dikagetkan oleh bunyi HP sekitar pukul 08.15. Ah, paling pacar saya. Tapi ternyata bukan. Nomernya tidak dikenal. Lalu saya angkat.
"Syarif, kamu dimana?"
"Ini siapa?"
"Lioni, kamu dimana?"
"Lioni mana ya?"
"Itu Lioni yang kamu kira Mirna, dulu,"
"Hah? Di rumah, memang ada apa?"
"Rumah kamu dimana?"
Saya deg-degan.
"Eh, emang kenapa?"
"Cepetan. Rebana nomer berapa?"
"Nomer sepuluh. Emang kenapa?"
"Oke, gua kesana ya sekarang,"
Klik. Telepon ditutup. Hati saya berdegup. Wah, ada apa ini? Jujur, saya ada rasa panik dan ketakutan juga, ada orang pagi-pagi memaksa datang ke rumah. Saya mondar-mandir lebih cepat di dalam kamar. Sampai akhirnya terdengar tukang jamu memanggil dari luar. Saya keluar dengan cepat, ke teras rumah, memenuhi panggilan si tukang. "Ayu, anggur satu," Saya pesan anggur dalam gelas. Setelah itu, datanglah Lioni yang dimaksud. Dia bersama seorang lagi. Membawa gitar.
Hari Jumat adalah hari yang menyenangkan selain hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu. Karena salah satunya, hari itu adalah hari yang mana saya pilih untuk libur. Tak ada kegiatan terikat, kecuali tampil reguler di malam harinya. Maka itu saya sengaja bermalas-malasan di pagi harinya. Lama di tempat tidur, atau berjalan keliling kamar. Sekedar berpikir, mencari inspirasi, atau membuat pegal kaki. Sampai tiba-tiba, saya dikagetkan oleh bunyi HP sekitar pukul 08.15. Ah, paling pacar saya. Tapi ternyata bukan. Nomernya tidak dikenal. Lalu saya angkat.
"Syarif, kamu dimana?"
"Ini siapa?"
"Lioni, kamu dimana?"
"Lioni mana ya?"
"Itu Lioni yang kamu kira Mirna, dulu,"
"Hah? Di rumah, memang ada apa?"
"Rumah kamu dimana?"
Saya deg-degan.
"Eh, emang kenapa?"
"Cepetan. Rebana nomer berapa?"
"Nomer sepuluh. Emang kenapa?"
"Oke, gua kesana ya sekarang,"
Klik. Telepon ditutup. Hati saya berdegup. Wah, ada apa ini? Jujur, saya ada rasa panik dan ketakutan juga, ada orang pagi-pagi memaksa datang ke rumah. Saya mondar-mandir lebih cepat di dalam kamar. Sampai akhirnya terdengar tukang jamu memanggil dari luar. Saya keluar dengan cepat, ke teras rumah, memenuhi panggilan si tukang. "Ayu, anggur satu," Saya pesan anggur dalam gelas. Setelah itu, datanglah Lioni yang dimaksud. Dia bersama seorang lagi. Membawa gitar.
Dengan wajah heran saya sambut sambil keanehan, "Eh Lioni, kenapa ya?" Dia jawab dengan ceria, "Begini, kami membawa kiriman dari Dega, katanya kalian tujuh bulanan ya?" "Ssssst.. ayo masuk dulu masuk," Saya suruh mereka masuk, karena sepertinya ini sesuatu yang vulgar jika terdengar tukang jamu dan seisi rumah yang sedang ada kegiatan Yoga. Yoga, kau tahu, mereka bermeditasi, dan butuh ketenangan. "Oke, Lioni, ceritakan, kiriman apa gerangan?" Setelah kami semua duduk, berceritalah Lioni: "Tenang, kami bukan mengirim kamu gitar. Hehehe. Kami dari Kappalettas, dinamakan juga Telegram Bernyanyi. Jadi, Dega, pacarmu, mengirimkan kami untuk menyanyikan sebuah lagu, dan kau mesti duduk lalu mendengarkan."
WOW! Jantung saya serasa ditinju. Ada rasa haru, tapi kaget lebih mendominasi. Saya sulit rileks mendengarnya, karena Ya Tuhan, bagaimana mungkin pacar saya "tega" melakukan ini? Saking paniknya, saya sampai mau ambil gitar karena saya pikir, saya mesti ikut maen gitar! Tapi, ah, betapa bodohnya, saya kan penerima pesan, masa mau ikut melipatkan amplop? Oke, saya kembali duduk, dan setelah berusaha rileks, saya persilahkan mereka nyanyi. Lalu digenjrenglah gitar, dan Lioni ternyata yang menyanyikannya. Lagunya adalah Lucky I'm In Love with My Best Friend dari Jason Mraz.
I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Saya mencoba mendengarkan liriknya baik-baik, karena pasti disitulah pesan telegramnya. Tapi sulit. Saya cuma bisa menangkap reffrain-nya saja. Karena saya terdominasi oleh perasaan haru. Bagi saya, pesan itu sudah diterima sebelum lagunya dinyanyikan. Bulat. Baik. Indah. Ketika telegram itu sendiri datang. Saya sudah senang seseorang yang saya kasihi mau mengirimkan surat, sebelum saya membuka amplopnya. Tidak banyak yang saya pikirkan selama mendengarkan lagu berdurasi kurang dari tiga menit itu, kecuali bahwa pagi itu sangat sangat terasa indah.
Lagu selesai. Saya beri tepuk tangan sekencang-kencangnya, yang saya yakini bisa membuyarkan para peserta Yoga. Tepuk tangan dari hati yang paling dalam. Pada sebuah pertunjukkan yang mencengangkan. Performa yang sederhana dan jauh dari gempita. Tapi hati ini merasa riuh dibuatnya. Saya tidak kuasa berhenti menyunggingkan senyum, baik di bibir maupun di batin. Saya ajak mereka, Lioni dan Pepeng (saya tahu namanya sesudahnya), berbincang sebentar. Terus terang, saya merasa bisnis ini unik dan kreatif. Kotasentrisme saya langsung keluar: Cuma di Bandung nih yang bisa begini. Hehehe. Kappalettas, katanya, berarti "lagu" dalam bahasa Finlandia. Memang bisnis ini fokus pada pengiriman telegram yang berisi lagu yang dinyanyikan langsung di depan penerimanya. Mendengar itu, saya malah mengusulkan, bagaimana jika sesekali pakai biola atau cello, agar efeknya lebih dramatis. Demikian akhirnya mereka pulang dengan membawa persetujuan bahwa sesekali pemakaian biola dan cello itu adalah ide yang sangat baik. Saya pun kembali ke kamar, menghubungi sang pengirim, dan kemudian tersiksa karenanya. Tersiksa kenapa? Karena saya bahagia, namun apa daya, cuma punya bahasa untuk mengungkapkannya.
Terima kasih, Wahdini Degayanti. Atas kirimannya. Atas kejutannya di pagi hari. Atas perhatian dan cintanya selama ini. Terima kasih.
Jet'aime Toujours.
Samasamaaaa... ^^
ReplyDeletemau..mau..mau..(tapi di Pekan bisa ga ya)
ReplyDelete