Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Batu Nisan Kaum Kiri

Sekitar bulan lalu, kira-kira tanggal 28 Desember (saya ingat, karena sehari sebelum final Piala AFF), saya jalan-jalan bersama pacar dan teman-temannya di Mal FX, kawasan Sudirman, Jakarta. Sore itu kami bermaksud nonton film Gulliver's Travel. Kala berjalan menyusuri mal-menuju bioskop, saya menemukan ada tempat makan yang menarik. Namanya Foodism. Menarik karena banyak foto wajah orang terpampang di dalamnya. Yang dipajang bukan foto orang sembarangan, mereka adalah orang-orang yang akrab disebut dalam sejarah. Apa maksud restoran tersebut memasang wajah mereka, saya tidak paham. Kalau saya tanya-tanya pelayannya pun mungkin mereka geleng-geleng saja. Saya juga saat itu sudah kenyang, sehingga tidak tertarik makan di dalamnya.


gambar diambil dari sini

Ketidakpahaman saya akan "Mengapa mereka semua ada disana?" menggelitik saya untuk menerka-nerka saja. Dari beberapa foto di sana, tiga diantaranya adalah tokoh besar dari kalangan kiri, yakni Lenin, Marx, dan Mao. Tak perlu bahas semuanya, cukup kita bahas singkat Karl Marx saja. Karena Lenin dan Mao pun sesungguhnya mengklaim diri sebagai Marxis sejati. Marx, kita tahu, dia adalah pendekar yang menentang segala bentuk ekploitasi dari para kapitalis. Ia barangkali merupakan orang pertama yang "sangat curiga" dengan bentuk ucapan dan janji manis kapitalisme yang saat itu tengah merajalela seiring revolusi industri. Marx akhirnya menyuarakan keberatannya ini dalam semacam ajakan bagi kaum buruh untuk bersatu, menggulingkan para pemilik modal dan tuan tanah, membiarkan diri untuk dipimpin oleh seorang diktator proletariat, hingga berujung pada bubarnya negara-negara karena seluruh manusia sejahtera secara merata. Utopis? jelas, karena faktanya sekarang ini negara-negara Komunis yang mengklaim menganut ideologi Marx tumbang satu per satu. Barangkali kita cuma bisa melihat sisa-sisanya dalam diri Kuba ataupun Korut. Di Indonesia apalagi, sejak diklaim sebagai "bahaya laten", ruapan gerak kaum Marxis menjadi sangat terbatas dan sedikit demi sedikit diberangus. Sekarang ini ide dan cita-cita Marx soal penyamarataan ditandaskan dengan mudah oleh kapitalisme. Marx mengakui, untuk menjadikan segalanya sama rata sama rasa sesuai cita-cita, butuh revolusi, revolusi kelas. Ini yang sulit dan tidak mendapat tempat. Setiap tercium bau revolusi, kapitalisme segera menawarkan ancaman, "Hayo, gak takut kelaperan lu?"

Bayangan saya kembali ke restoran itu, yang bernama Foodism itu. Disana juga ada Gandhi dan Ali. Orang yang dengan gigih mau berdiri di atas kakinya sendiri untuk menentang perang. Gandhi menawarkan tiga gerakan rakyat, yakni Ahimsa, Satyagraha, dan Swadeshi, untuk mengakhiri pendudukan kolonial Inggris. Sedangkan Ali sang petinju, ia berkoar-koar soal betapa Perang Vietnam tidak beradab bagi umat manusia. Semuanya, mereka: Marx, Lenin, Mao, Gandhi, dan Ali, yang barangkali berurat baja pada hampir sepanjang hidupnya, sekarang boleh melemaskan otot-otot dan duduk bahagia di balik bilik kaca. Otaknya yang mendidih kala berjuang dan bertarung, sekarang telah dibuat adem oleh freon. Kata-kata yang akrab mendesing di telinga mereka dulu, seperti "Perlawanan, revolusi, kejayaan," sekarang diganti oleh celetukan santai seperti, "best-order, hang-out, atau thanks god it's Friday!" Kapitalisme, sekali lagi, sukses berjaya. Dan kali ini ia mengukuhkan kejayaannya bulat-bulat, dengan berkata pada para pembesar itu:

"Saksikan, wahai para Revolusionaris. Sesungguhnya, kaum proletar yang kalian bela sekarang tak berdaya. Mereka beli, mereka mengonsumsi, mereka kenyang dan setelah itu enggan berjuang. Sesungguhnya yang lemah dilarang menang!"

Comments

  1. seperti yang elu pernah bilang, sulit membicarakan Marx di dalam sebuah hotel mewah yang wangi, nyaman, sejuk dan penuh dengan makanan yang aduhai menggoda...betul kan?
    Love this very much, as always!

    ReplyDelete
  2. Thalut punya hak jadi raja.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1