Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Etika Mexican Standoff


Jika kamu terjebak dalam situasi seperti ini, apa yang kamu lakukan?

Saya tahu istilah mexican standoff dari film-film Quentin Tarantino. Ia sering sekali, atau bisa dibilang selalu, menyelipkan adegan seperti ini di karyanya. Mexican standoff adalah posisi sama kuat yang mana kedua pihak mengalami keadaan yang sama-sama berbahaya, sama-sama terjepit, dan mesti ada kompromi yang serius agar keduanya bisa selamat. Istilah ini biasa dipakai dalam film koboi ketika dua atau lebih gunman sedang saling todong senjata. Namun situasi mexican standoff bisa kita temui dalam berbagai problem etis.

Ada dua hal yang bisa dilakukan dalam situasi seperti ini:
1. Mundur. Kedua-duanya tidak menembak meskipun ini butuh persetujuan dari keduanya. Biasanya ini dilakukan setelah diplomasi lewat dialog.
2. Pre-emptive strike atau menembak duluan. Ini adalah inisiatif dari masing-masingnya untuk menembak sebelum ditembak. Sesuatu yang pasti menimbulkan korban.

Sehubungan dengan dialog saya dengan kawan bernama Diecky Rabu lalu, ada kegentingan etis yang baru ketika ada yang membisikkan pada masing-masingnya seperti ini: "Pelurumu asli, sedang lawanmu palsu." Kalau itu terjadi, apa yang kamu lakukan? Saya menjawab langsung tembak, Diecky menjawab, "Kalau saya justru nggak, karena saya tahu lawan saya tak berdaya." Lantas jika dibisikkan sebaliknya? Yaitu: "Pelurumu palsu, lawanmu asli." Kami berdua setuju, bahwa tak ada gunanya berdiplomasi, menyerah dan kabur saja tunggang langgang.

Mexican standoff adalah situasi harian kita. Selalu ada kegentingan antara maju menerkam duluan untuk ambil kesempatan, atau mundur bersama-sama agar situasi aman. Keduanya punya peluang berhasil yang mirip-mirip, hanya yang menentukan adalah "bisikan" tentang apakah pelurumu dan peluru lawanmu itu asli atau palsu. Kata Mas Rudi, teman diskusi lainnya, jaman Soeharto adalah jaman dimana rakyat rajin dibisikkan sugesti bahwa pelurunya palsu sedangkan pemerintah punya peluru asli. Sedangkan kekuasaan selalu demikian, selalu punya kepercayaan bahwa rakyat memegang peluru palsu sedangkan dirinyalah yang berkemampuan membunuh.

Ini sebabnya mengapa kekuasaan selalu asyik untuk dipertahankan. Selalu asyik untuk mengingat betapa para budak tidak punya daya untuk melukai sang tiran. Demokrasi, sebagaimanapun disebut sebagai pemerintahan rakyat, tapi rakyat selalu disugestikan sebagai pemilik peluru palsu.

Namun, tanpa memperhitungkan aspek bisikan, saya akan agak gender sentris soal ini. Bahwa mexican standoff hanya bisa tanpa korban jika ada janji, kepercayaan, dan gentleman agreement. Tak bisa ada salah satu yang melanggar karena segalanya bisa kacau. Oh, saya jadi ingat hari pernikahan saya yang sebentar lagi. Saya akan duduk bersimpuh untuk saling menodongkan pistol dengan ayah calon. Kami berdua mundur teratur oleh sebuah kesepakatan antara dua pria, "Jika satu melanggar, maka moncong ini akan menyalak tanpa bisa dihindari."

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1