Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Edmund Husserl (1859-1938), seorang matematikawan asal Jerman, suatu hari pernah merumuskan demikian: Bahwa dunia keilmuan masa itu, dengan segala dalil subjek-objeknya, justru telah gagal menjelaskan dunia keseharian (lebenswelt ). Ilmu positif telah gagal menjelaskan pernyataan-pernyataan personal seperti, "Hari yang sendu," "Air yang suci," "Cinta yang mendalam," hingga "Tuhan yang dekat denganku." Para saintis lupa bahwa dalam dunia keseharian, apa yang dialami oleh subjek sebagai ada, itu justru yang lebih esensial ketimbang dunia yang dikonstruksi oleh distingsi subjek-objek yang miskin. Pak Bambang pernah mencontohkan pemikiran Edmund Husserl ini dengan sangat baik. Bahwa air, bagi dunia positif dirumuskan dalam H20. Tapi fenomenologi (ilmu yang kemudian dikembangkan oleh Husserl), mengatakan bahwa sah-sah saja jika air kemudian mempunyai makna yang berbeda-beda bagi individu yang berbeda-beda pula. Air bisa sangat luas, bisa sangat perso