Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Manusia pada dasarnya punya sifat malas. Itu sebabnya dianugerahi kita cara berpikir generalisasi. Kant mengatakan sudah fitrahnya manusia berpikir secara generalisasi. "Jika batu dijatuhkan dua kali dan ia memang jatuh ke bumi, maka sudah pasti manusia akan berpikir bahwa demikian halnya yang ketiga kalinya," begitu kira-kira ujarnya. Cara berpikir semacam ini berlanjut pula ke bagaimana ia memahami lingkungan sosialnya. Tidak banyak manusia yang mau dengan sungguh-sungguh menelaah individu per individu untuk mengetahui kedalamannya. Rata-rata mereka mengambil satu dua sampel saja untuk dijadikan apa yang disebut: stereotip. Ketika misalnya saya pernah mendapati orang Arab yang ramah, saya akan katakan: orang Arab ramah-ramah. Sebaliknya ketika ada orang Arab yang jahil, saya akan bilang: orang Arab jahil-jahil. Begitu pemalasnya saya untuk mengatakan: Ada orang Arab yang jahil, ada orang Arab yang ramah. Rupanya kalimat semacam itu terlalu abu-abu untuk diceritakan pada o