(Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p
Mungkin tidak ada satupun dari kita yang tidak punya cita-cita untuk mengubah kehidupan. Persoalannya adalah soal skala. Ada yang mau mengubah kehidupan dalam skala yang besar, sebesar luas dunia itu sendiri. Ada juga yang cukup di lingkup masyarakat tempat tinggalnya, mengecil ke lingkup keluarga, hingga akhirnya cukup mengubah kehidupan dengan merubah dirinya sendiri. Tapi persoalannya, apakah dunia betul-betul berubah dengan apa yang kita lakukan? Tidakkah dilihat dalam kacamata makrokosmos, sesungguhnya tidak ada signifikansi setitik pun, tentang apa yang dilakukan oleh umat manusia terhadap keseluruhan kehidupan?
Kita bisa lihat bagaimana kejahatan adalah sasaran abadi yang selalu menarik untuk dihabisi dari sejak permulaan dunia. Tapi sehebat apapun mereka para pembasmi kejahatan bekerja, kejahatan itu sendiri tetap ada seolah-olah Tuhan memang menghendakinya. Kemiskinan pun sama. Kita semua sudah mendengarkan berbagai ideologi yang terus menerus mencari model terbaik agar setiap orang sanggup memenuhi kebutuhan ekonomi dengan sebaik-baiknya mulai dari kapitalisme, komunisme, hingga ekonomi syari'ah. Tapi kemiskinan tidak terhapuskan dan mungkin tidak akan pernah.
Di samping itu, kita lihat manusia selalu mencari model kebenaran. Katanya ada agama, filsafat, sains, dan seni sebagai empat pilar yang membangun peradaban sekaligus juga empat dimensi dalam kita mendekati yang hakiki. Keempatnya kadang saling melengkapi, tapi seringnya malah bergulat tanpa henti. Kita menemukan bahwa model kebenaran adalah sesuatu yang lentur, dinamis, dan sekaligus juga licin. Beberapa dari kita terbantu olehnya, tapi ada juga yang malah merasa kesulitan. Merasa bahwa tak ada yang dinamakan model kebenaran, apalagi kebenaran itu sendiri.
Saya melihat sekeliling dengan lebih teliti: Pengemis, cendekiawan, seniman, pelacur, tukang kupat tahu, hingga cleaning service. Semuanya hidup dengan model kebenarannya sendiri, semua hidup dengan pandangan untuk mengubah dunia dengan caranya sendiri. Adakah dari mereka yang lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain? Saya tidak yakin. Mungkin juga kita dihadirkan ke dunia untuk melakukan sebuah kegiatan yang tidak mengubah apapun. Tidak ada kebenaran, kata Herman Hesse, karena lawan dari benar adalah juga sama-sama benar. Saya mengajar, menulis, dan bermain musik, untuk sebuah kebaikan bagi dunia. Tapi dunia ini tidak boleh ada hanya untuk kebaikan semata. Biarkan yang tidak baik juga bertahan agar dunia ini tetap lestari dan alami. Biarkan si bodoh ada agar si pintar dapat tetap jumawa. Biarkan si keras hati ada agar para seniman bisa berbangga diri. Karena hidup ini sungguh tidak ada apa-apa di dalamnya.
Mengubah mas bukan merubah, kata dasarnya ubah. Hehehe.
ReplyDelete