Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Mimpi yang Aneh


Mungkin ini adalah periode terlama saya tidak menulis blog. Sepanjang bulan November, saya sama sekali tidak punya waktu (atau tidak punya ide) untuk menerbitkan posting-posting baru. Padahal, sejak punya blog lima tahun silam, saya selalu bisa mengisi minimal dua kali dalam sebulan. Jujur memang ketiadaan posting tersebut adalah karena sesuatu yang sedang saya kerjakan, dan barangkali dapat dikatakan sebagai "mimpi yang aneh". Mengapa? Begini ceritanya:

Selesai menggarap buku Nasib Manusia, saya tiba-tiba bersemangat untuk menulis buku yang lain, berjudul Filsafat Komunikasi: Dari Sokrates Hingga Buddhisme Zen. Karena memang suka dan mendalami filsafat sudah sejak lama, maka bagi saya sendiri, tidak susah untuk menuliskannya. Dalam waktu hampir sebulan setengah, saya sudah merampungkan enam dari sepuluh bab yang direncanakan. Proses menulis saya tersebut ternyata tercium oleh kawan saya, seorang direktur penerbitan yang bernaung di bawah sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di Tanah Air. Ia senang dengan rencana saya, dan berniat untuk membuatkan satu peluncuran buku besar-besaran. Bukan hanya terkait buku Filsafat Komunikasi, melainkan juga buku sebelumnya, Nasib Manusia -yang memang belum pernah resmi diluncurkan-. Kawan saya yang bernama Syahriar itu tidak sendirian merencanakan hal tersebut. Ada juga Pak Sufyan, direktur setingkat di atasnya, yang turut antusias dengan gelaran ini.

Jadilah, lewat suatu rapat yang digelar secara singkat di Starbucks Coffee di Paris van Java (tanggal rapat adalah 28 November), diputuskan bahwa acara peluncuran buku akan dilaksanakan pada tanggal 12 Desember -atau dalam waktu dua minggu saja!-. Tadi sudah diceritakan bahwa saya masih menyisakan empat bab lagi agar Filsafat Komunikasi dapat rampung seluruhnya. Artinya, selain menyiapkan acara yang kata Syahriar dan Pak Sufyan adalah acara peluncuran yang sangat besar, saya juga mesti menyelesaikan sisa bab dalam waktu kurang dari empat belas hari (tentu karena ada periode waktu cetak mencetak yang pasti memakan waktu minimal tiga hari). Sebagai rincian, yang harus saya siapkan adalah: Menulis naskah karena Pak Sufyan menginginkan adanya semacam monolog yang agak teatrikal, menyiapkan bumper acara berupa tayangan multimedia yang gegap gempita, menyiapkan film yang berisi kisah hidup Pak Awal Uzhara beserta subtitle dalam bahasa Indonesia (ini agak sulit karena film itu sendiri disajikan dalam bahasa Rusia), menyusun daftar undangan untuk siapa saja yang kira-kira mesti menghadiri acara ini dari pihak saya, serta menyiapkan orasi kebudayaan yang akan dibawakan oleh saya sendiri sebagai penampilan pamungkas.

Dua minggu persiapan merupakan salah satu pengalaman paling menegangkan sekaligus paling buruk dalam hidup saya (kedua setelah resital pertama saya tahun 2006). Tidur tidak enak, makan tidak enak, juga gerak-gerik menjadi teramat gelisah dan susah sekali untuk fokus berbicara pada siapapun juga. Mengapa? Karena ini adalah peluncuran buku atas nama saya sendiri. Tidak hanya satu, tapi dua buku sekaligus. Pak Sufyan mengatakan bahwa yang hadir adalah pucuk tertinggi pimpinan yakni ketua yayasan, rektor, dekan dari seluruh fakultas, dan perwakilan dari kedutaan besar Rusia. Mungkin enak jika saya hanya tinggal duduk dan mengikuti seluruh acara dengan memasang wajah sumringah. Namun sialnya, Syahriar dan Pak Sufyan meminta saya untuk turut mengonsep acara, juga bermain di dalamnya. Ini adalah pertaruhan besar.

Sebelum lupa, saya beritahukan bahwa judul acara ini adalah Manusia, Mau Ke Mana? Peluncuran dan Interpretasi Seni Buku Nasib Manusia dan Filsafat Komunikasi. H-3 jelang acara, umbul-umbulnya sudah terpasang dari mulai jalan masuk kampus, hingga ke area fakultas tempat saya mengajar. Acaranya sendiri dilaksanakan di aula lantai empat Fakultas Komunikasi dan Bisnis, tempat yang cukup besar dan mungkin sanggup menampung tiga ratus hingga empat ratus orang. Sejak umbul-umbul itu terpasang, saya seperti dibangunkan dari tidur panjang untuk masuk pada mimpi yang lain. Saya dipaksa sadar bahwa ini adalah acara besar dan jangan sekali-kali menganggapnya mainan. Namun kenyataan bahwa acara tersebut adalah acara besar, merupakan sesuatu yang saya katakan di awal: Mimpi yang aneh.

Singkat cerita, acara itu berjalan juga. Segalanya berlangsung lancar: Bumper, film, teater yang dimainkan oleh Sophan Ajie (monolog), Ammy Kurniawan (musik), dan Gaby (ballerina); sambutan demi sambutan mulai dari dekan, wakil rektor, hingga ketua yayasan; ulasan singkat dari pakar semiotika Pak Yasraf Amir Piliang, dan orasi kebudayaan dari saya sendiri yang termasuk di dalamnya adalah permainan gitar klasik solo, sekaligus gitar jazz manouche duet bersama violinis Ammy Kurniawan. Kemudian tanpa terasa, acara selama 120 menit itu berakhir dan yang tersisa tinggal ucapan selamat demi ucapan selamat. Saya tertegun oleh mimpi yang aneh. Ternyata segala yang saya pelajari dan jalani secara konsisten selama ini (gitar klasik, gitar jazz, menulis, bicara, mengurus acara, hingga mengapresiasi seni), semuanya termanifestasikan dalam satu acara besar. Saya selalu menganggap bahwa apa-apa yang saya lakukan tersebut, merupakan suatu perjalanan di "jalan yang sunyi", yang tidak mungkin dihargai orang lain secara meriah dan penuh hingar bingar. 

Di tengah ketertegunan, di bawah kesadaran yang tipis akibat mimpi yang aneh tersebut, tiba-tiba saya ingat kata-kata Kahlil Gibran yang tertulis dalam Pasir dan Buih, "Jika kamu menyanyikan sesuatu dengan sepenuh hati, di Gurun Sahara yang paling sunyi sekalipun, ada, ada yang mendengarkanmu." Saya berdoa agar tidak lama-lama berada dalam euforia. Saya tidak ingin hati saya tercederai oleh balutan lampu-lampu dan pujian yang berderai bagai mata orang yang tengah mengiris bawang. Saya segera pergi ke Gurun Sahara untuk menyanyi seorang diri. Biar saja mimpi yang aneh sesekali datang, ketika saya tengah berteduh di oase kesementaraan. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1