Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2014

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Yang Absurd dan Yang Hidup

Modernitas adalah soal kepastian. Sains dan teknologi memberikan pelbagai jaminan bahwa jika kita menjalani A maka hasilnya pasti B. Kehidupan manusia berkaitan dengan rencana-rencana ke depan yang sudah dirancang hingga puluhan tahun. Dunia ini, kata Heidegger, oleh sebab segala kepastian tersebut, mulai kehilangan kemistisan. Seperti saya misalnya, sekarang sudah mempunyai pekerjaan tetap sebagai dosen tetap. Di tempat ini, saya mendapat jaminan hingga hari tua dan jaminan kesehatan jika terjadi apa-apa. Apa yang terjadi? Perasaan yang sesungguhnya kontradiktif muncul. Di satu sisi, saya merasa hal tersebut adalah anugerah Tuhan. Di sisi lain, dengan kepastian tersebut, Tuhan justru seperti tak dibutuhkan lagi. Seperti kata Andre Yefimich Ragin dalam Ruang Inap no. 6 , "Jika manusia sudah dapat sembuh oleh pil dan obat, maka kepercayaan mereka pada agama dan filsafat terang akan menurun." Semakin dewasa juga, segala kegiatan menjadi harus punya alasan dan kegunaan. Meng

Untuk Masa Mudaku yang Akan Pergi

Minggu lalu saya datang ke sebuah pesta. Pesta yang saya sendiri heran mengapa saya bisa menghadirinya. Pesta itu adalah perayaan ulang tahun ketujuhbelas dari Vallerina. Siapa Vallerina? Dia adalah anak sulung dari murid privat gitar saya yang bernama Ibu Elly. Saya datang karena memang tidak ada acara dan juga ingin mendapatkan pengalaman menarik. Bagaimana tidak, dalam sepuluh tahun terakhir, saya sungguh tidak pernah datang lagi ke sebuah pesta sweet seventeenth.  Pesta yang diselenggarakan di Trans Hotel tersebut berlangsung sangat meriah. Ada panggung besar, tata pencahayaan canggih, pemandu acara dan pemusik profesional, makanan berlimpah dalam buffet , hingga kue ulang tahun setinggi manusia. Meski saya merasa bahwa menghadiri acara semacam itu dapat dikatakan "sudah bukan masanya lagi", tapi saya tetap berusaha melebur dan menikmati berbagai sajian yang ada. Ada yang bersuara dalam hati saya, yang mengatakan bahwa, "Iya, kamu masih muda, kok, masih punya taj