Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Musik 15



Beberapa bulan ke belakang, Kang Ammy (Ammy Kurniawan, pemain biola), mengontak saya via Whatsapp. Katanya, “Saya ingin membuat pertunjukkan rutin di kafe, tapi hanya lima belas menit saja per penampilan.” Waktu itu, saya tidak begitu menggubris ide tersebut. Apa yang bisa diharapkan dari pertunjukkan cuma lima belas menit? Tidakkah orang-orang yang datang ke sebuah kafe, berharap ada live music yang durasinya cukup panjang untuk menemani mereka berbicang-bincang sambil bersantai? 

Lima belas menit tentu saja terlalu pendek. Lima belas menit adalah durasi yang dibutuhkan bagi orang untuk menunggu pesanannya datang. Setelah pesanan itu datang, mereka akan bersantap kurang lebih setengah jam. Kemudian, sehabisnya hidangan, orang-orang di kafe akan mengobrol hingga lama, tergantung suasana sekitar yang mendukung. Artinya, live music yang “ideal” tentu saja tidak kurang dari satu setengah jam. 

Namun, Kang Ammy tetap bersikeras akan ide pertunjukkan berdurasi lima belas menit tersebut. Ia mulai menyusun jadwal penampil yang akan mengisi panggung seminggu tiga kali. Panggung yang dipilih adalah di Java Preanger Coffee House -yang memang sudah sejak dua tahun ke belakang, menjadi “homebase” bagi Kang Ammy dan sekolah musiknya, yaitu Ammy Alternative Strings-. Penampil demi penampil menaiki panggung nyaris dua kali sehari. Diawali oleh Kang Ammy dan beberapa penampil yang rutin mengisi panggung di Java Preanger Coffee House –seperti gitaris Hilman Patria dan pemain suling, Abah Aspara-, gaung acara yang dinamakan “Musik 15” tersebut semakin besar. Satu per satu musisi profesional seperti Ray Jeffryn, Mojang String Quartet, Nissan Fortz, Tesla Manaf Effendi, Ary Juliyant, Muktimukti hingga 4 Peniti, tidak lagi ditawari, melainkan malah menawarkan diri untuk mengisi panggung. Bahkan entah dua atau tiga kali, “Musik 15” mendapat perhatian dari media massa. Para wartawan tertarik tentang mengapa, acara dengan durasi sependek ini, dapat menyedot sejumlah musisi untuk hadir dan mengisi. Padahal, tiada satupun dari mereka yang mendapat bayaran. 

Apakah yang membuat “Musik 15” menarik minat, baik dari musisi dan juga penonton? Ammy pernah mengatakan, bahwa fokus orang terhadap sesuatu, paling banter hanya lima belas menit. Selebihnya, konsentrasi itu tidak mungkin sebaik sebelumnya. Artinya, durasi lima belas menit yang terkandung dalam “Musik 15” tidak lepas dari sebuah pertimbangan ilmiah. Kemudian juga, apa kira-kira respon seorang musisi ketika dia tahu bahwa penampilannya hanya diberi waktu lima belas menit? Ada dua kemungkinan: Pertama, ia akan setengah hati bermain, karena tahu bahwa lima belas menit tidak akan cukup baginya untuk mencuri perhatian penonton manapun. Kedua, bisa saja seorang musisi akan menjadi semakin bersemangat untuk memanfaatkan waktu yang singkat tersebut, demi mencuri perhatian penonton. Untungnya, kemampuan kuratorial Kang Ammy sudah sangat baik sehingga hanya musisi yang masuk ke dalam kategori kedua saja yang naik panggung di “Musik 15”. 

Walhasil, lagu-lagu yang ditampilkan tidak ada yang basa-basi. Nyaris semuanya punya gimmick yang kuat sehingga dalam durasi lima belas menit itu, tiada penonton yang meninggalkan tempat duduknya. Tentu saja, oleh sebab kuatnya kesan yang ditinggalkan, rata-rata penonton selalu meminta musisi menampilkan encore. Atas permintaan tersebut, Kang Ammy selalu menekankan, “Musik hanya berdurasi lima belas menit saja, tidak lebih dan tidak kurang.” Mendapat jawaban seperti itu, penonton tentu saja kecewa. Tapi mereka yang penikmat sejati akan datang kembali, untuk menikmati lima belas menit berikutnya. 

“Musik 15” berakhir 17 Maret 2015 kemarin (setelah kurang lebih dua bulan berjalan) karena ada semacam perubahan manajemen di Java Preanger Coffee House. Sedihkah Kang Ammy, karena idenya tersebut mesti diakhiri? Ternyata tidak. Katanya, segala yang hidup, harus mati. Segala kematian itu pun, harus di waktu yang tepat ketika segala sesuatu tengah di puncak. Filosofi yang sama ia terapkan pada penampilan dalam “Musik 15” itu sendiri. Ketika penonton tengah terpesona dan terpukau; ketika penonton belum ingin beranjak dari tempat duduk dan masih mau memberikan decak kagumnya; hentikan. Lantas biarkan notasi demi notasi tinggal dalam hati setiap orang yang penasaran. Seperti kata pujangga Chairil Anwar, “Sekali berarti, sudah itu mati.”

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1