Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Merawat

Sekitar tiga minggu yang lalu, saya dihibahi kucing oleh kawan di tempat kerja. Kucing tersebut, yang merupakan campuran Persia dan entah apa (saya tidak ingat namanya), oleh saya diberi nama Simone de Beauvoir dan sudah disetujui oleh istri dan anak (serta sang pemilik sebelumnya). Mon -demikian panggilannya- tampak stres ketika untuk pertama kalinya berada di mobil menuju rumah saya. Wajar, ia berpindah tuan. Segala sesuatunya menjadi hal yang kembali baru untuk Mon. Sesampainya di rumah, saya lupa. Saya kira ia kucing yang tenang dan santai. Tahu-tahu, karena stres, ia lari terbirit-birit dan kabur entah kemana. Untungnya, malamnya, ia tiba-tiba kembali dengan badan penuh air got. Ternyata Mon tahu jalan pulang, meski baru pertama kali dia berpindah kediaman. 

Singkat cerita: Kami sekeluarga memelihara Mon dengan sukacita. Ia memberi warna baru bagi rumah kami. Saya tiba-tiba harus mengunjungi berkali-kali tempat yang tidak pernah saya kenal di sebelum-sebelumnya: Pet Shop. Saya mencari informasi tentang makanan, tempat buang air, kandang, hingga hal-ikhwal perkawinan baik lewat internet maupun lewat teman yang lebih berpengalaman. Anak saya begitu tergila-gila pada Mon. Saking antusiasnya, ia sering berteriak sehingga Mon lari terbirit-birit. Awalnya saya begitu menderita jika tiba waktunya membuang hasil hajat Mon. Tapi lama-lama saya merasa itu sebagai sebuah kewajiban yang membahagiakan. 

Lalu di suatu hari, Mon kabur. Ceritanya sederhana: Ia kaget oleh teriakan anak saya, dan kebetulan celah yang biasanya tidak terbuka, sedang terbuka. Sehingga Mon kabur begitu saja, lenyap tanpa rimba. Lonceng yang sudah kami pasang ternyata tidak terdengar sedikitpun bebunyiannya. Saya mencari kesana kemari. Malam-malam pun saya tetap menyusuri komplek dengan senter. Foto Mon saya bagikan di grup komplek. Semalaman itu saya tidak bisa tidur. Pun anak saya menangis tersedu-sedu karena kehilangan yang mengejutkan ini. 

Saya merasakan kehampaan yang sangat. Bukan oleh kelucuan si kucing ternyata. Tapi oleh sebab bahwa saya kehilangan suatu rutinitas: merawat. Saya begitu rindu memberinya makan, membuang kotorannya, dan melepaskannya dari kandang ketika semua celah sudah (dirasa) tertutup. Saya juga rindu pergi ke Pet Shop dan bertanya pada penjaga tentang apa saja terkait kucing sampai dia bosan. Agaknya sudah  menjadi fitrah manusia bahwa kita harus merawat sesuatu. Seperti kata Anton Chekhov yang dituturkan ulang oleh Pak Awal Uzhara, "Hidup manusia itu sia-sia kecuali jika ia melakukan satu dari tiga hal ini: Merawat pohon kayu, mengurus rumah, atau membesarkan anak." Tentu Chekhov tidak harfiah. Ia ingin memberikan satu inti: Bahwa manusia pada dasarnya senang bersusah-susah untuk sesuatu yang ia percaya akan tumbuh dan berkembang. Manusia senang melihat pertumbuhan. Manusia senang melihat proses. Padahal ia tahu bahwa di ujung perkembangan, akan ada akhir yang buruk: Entah perpisahan, entah kematian. Itu sebabnya, kita perlu bingung jika surga itu katanya apa-apa tinggal minta: Akankah manusia bahagia di dalamnya?

Epilog: Mon akhirnya pulang di malam berikutnya

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1