Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Jalan Sunyi Pegiat Literasi

Satu lagi toko buku bagus tutup. Kemarin Reading Lights, sekarang Lawang Buku. Anehnya, keduanya adalah toko buku yang tidak sekadar toko: keduanya mempunyai semangat memajukan literasi secara umum. Reading Lights kita tahu, mereka pernah secara rutin memfasilitasi kelompok yang dinamakan dengan writer's circle. Mereka berkumpul setiap minggu untuk menulis dan kemudian membacakan hasil tulisannya pada peserta yang lain untuk diapresiasi. Walau saya baru datang ke komunitas ini dua kali dan itupun sekitar lima tahun silam, tapi kenangan atasnya begitu membekas. 

Semangat Lawang Buku dalam memajukan literasi tampil dalam diri individu, sang pemilik kios, Kang Deni. Kita bisa datang ke Lawang Buku (yang letaknya di Baltos) dan mendapat ragam informasi mengenai buku yang dipajang. Kang Deni pernah berbagi tips, "Penjual buku yang baik harus mengerti produknya. Ia juga harus rajin membaca." Dapat kita bayangkan: Lawang Buku tidak menjual buku-buku biasa. Sebagai contoh, saya pernah membeli majalah Uni Soviet yang terbit di Indonesia pada sekitar tahun 1950an dan juga buku karya Nikolai Chernishevsky ejaan lama yang diterbitkan sekitar tahun 1960an. Itu belum termasuk buku-buku bertema kebangsaan, yang sering disusupkan oleh Kang Deni, ke diskusi Asian African Reading Club yang diadakan setiap Rabu di Museum Konperensi Asia Afrika. Jadi dapat dibayangkan, kita bisa datang ke Lawang Buku, melihat-lihat, dan ngobrol dengan Kang Deni tentang hal ikhwal itu semua. Persoalan jadi beli atau tidak, toh Kang Deni akan tetap melayani pelanggannya dengan obrolan penuh wawasan. Karena mungkin, baginya, yang penting adalah semangat literasi yang harus terus diperjuangkan. 

Kabar itupun akhirnya saya baca di Facebook. Kabar bahwa Lawang Buku hanya akan beroperasi via daring dan sesekali ikut pameran buku. Saya tulis ini tanpa menglarifikasi Kang Deni karena tulisan ini saya buat jam dua pagi sambil sedih, marah, dan kecewa. Sebagaimanapun saya mencoba tidur, saya tetap galau karena macam-macam pertanyaan: Mengapa mereka, yang punya semangat memajukan literasi, yang akhirnya harus tutup kios? Mengapa bukan mereka, yang menganggap buku sebagai komoditi belaka, tak peduli kedalaman, yang penting sampul bagus -kita beri plastik agar tangan-tangan kotor pembaca yang coba-coba baca tanpa berniat beli tidak menodainya-, yang tersingkir? 

Inilah yang membuat Pak Awal Uzhara, ketika kembali dari Rusia setelah lima puluh tahun tidak bisa pulang atas alasan politik, langsung jatuh sakit ketika melihat mahasiswa-mahasiswa Indonesia di tempat yang beliau ajar. Katanya, "Mengapa mereka malas sekali membaca? Di Rusia, anak-anak SMP sudah terbiasa membaca buku-buku Tolstoy dan Chekov. Sekarang apa yang mau saya ajarkan kalau mereka tidak pernah membaca?" Hal sama juga saya rasakan ketika berhadapan dengan mahasiswa di kelas. Pertanyaan, "Kamu membaca buku apa?" Adalah jenis pertanyaan yang nampaknya sulit. Hal yang lebih elementer yang bisa kita tanyakan adalah, "Apakah kamu membaca buku?" 

Memang saya tidak punya data, tentang apakah secara umum literasi di Indonesia ini meningkat atau tidak. Tapi satu hal yang dapat ditarik kesimpulannya berdasarkan kejadian di atas, adalah kenyataan bahwa tempat bernaung para pegiat literasi, lambat laun mundur dari peradaban. Mungkin ini ada kaitannya, dengan paperless society yang diidam-idamkan masyarakat praktis-ogah ribet-yang ingin memampatkan segala sesuatunya dalam tablet. Bapak saya dari dulu sudah sering meramalkan dengan nada suara bergetar karena membayangkan betapa sedihnya jika itu benar: suatu saat, buku-buku hanya akan dapat kita temukan di museum. 

Memang iya, buku-buku yang dijual Lawang Buku pada akhirnya beralih ke daring. "Ah, cuma ganti medium saja. Tidak usah dramatis," mungkin begitu hibur seseorang. Tapi pastilah tutup kios itu punya kaitan juga dengan biaya sewa yang mencekik, disertai pembeli yang tidak-sebanyak-toko-buku-besar-yang-memuat-buku-buku-motivasi. Dan juga, bagaimanapun, meski buku tetap bisa dihadirkan di dunia maya, tetap ada hal yang hilang: obrolan penuh wawasan dari Kang Deni, yang dari sorot matanya, dapat kita ketahui bahwa ia tidak hanya sekadar jualan untuk kantongnya sendiri. Ia jualan untuk kemajuan peradaban. 

Foto: 
1. Artikel saya di Pikiran Rakyat sekitar setahun lalu tentang Komunitas Kebangsaan, yang salah satunya bercerita tentang Lawang Buku sebagai toko buku yang rajin memajang buku-buku bertema nasionalisme. 
2. Karya instalasi dari Jorge Mendez Blake berjudul The Castle. Menunjukkan bagaimana sebuah buku dapat memberi perubahan bagi dinding yang tebal -disebut The Castle karena buku yang digunakan adalah buku Franz Kafka dengan judul itu-.





Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1