Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Penonton NBA dan Eurobasket

Sejak langganan TV Kabel, saya jadi rajin nonton saluran NBATV. Karena ya, kita tahu, sudah sejak lama saluran televisi lokal tidak lagi menayangkan pertandingan basket NBA. Saya memang bukan penggemar basket sejati, tapi keberadaan NBATV ini lumayan menghibur (ketika saluran lain sedang tidak seru). Berbeda dengan NBA yang pertandingannya umumnya dilakukan di pagi hari waktu Indonesia, ada juga Eurobasket yang ditayangkan pada saat dini hari (biasanya di saluran Eurosports). Jika bicara kualitas permainan, tentu saja NBA lebih menyenangkan untuk ditonton. Selain karena pemainnya lebih berkualitas (tanpa merendahkan kualitas pemain Eropa), NBA juga sukses mengemas kompetisinya menjadi panggung hiburan besar -alih-alih tayangan olahraga biasa-.

Meski demikian, ada hal menarik yang dapat diperhatikan dari perbedaan antara dua kompetisi ini, yaitu sikap penonton dalam mendukung tim kesayangannya. Penonton NBA tentu saja ramai. Mereka kompak meneriakkan "Defense! Defense!" setiap timnya dalam posisi bertahan; mereka rajin mengganggu lawan yang tengah melakukan free throw dengan beragam cara yang kreatif (termasuk foto Eva Longoria untuk mengganggu Tony Parker); mereka juga kompak berdiri jika pertandingan sedang dalam situasi yang menegangkan; hal tersebut belum termasuk atribut dalam bentuk kaos, syal, topi, dan sebagainya. Penonton Eurobasket juga ramai, tapi dengan cara yang berbeda. Mereka biasanya memasang bendera besar yang tidak cukup dipegang satu orang dan meneriakkan yel-yel tanpa henti sepanjang pertandingan. Berbeda dengan para penonton NBA yang meski ramai, tapi tetap menganggap bahwa tontonan di depannya adalah tontonan (sehingga meski menegangkan, mereka tetap tak lupa melahap popcorn dan memeluk kekasihnya di sampingnya), penonton Eurobasket lebih tampak menghayati dan melihat bahwa lapangan pertandingan adalah penentu segala nasib dalam kehidupannya.

Bertolt Brecht (1896 - 1956), seorang pemain, penulis skenario, dan sutradara teater asal Jerman, mengatakan bahwa teater dramatis -yang dibesarkan oleh Constantin Stanislavsky- bisa jadi terlalu membawa penonton pada sikap-sikap ilusif dan tidak realistis. Harusnya, penonton tak perlu hanyut ke dalam pertunjukkan. Mereka seyogianya bersikap bebas dan mampu mengambil jarak dari apa yang ditampilkan, sehingga menonton teater dapat menjadi sangat santai sebagaimana halnya menonton pertandingan tinju. Itulah mungkin yang dilakukan penonton NBA, yang menyaksikan pertandingan dengan santai, tanpa perlu mengagung-agungkan panggung sebagai sesuatu yang mesti dihayati: "Bolehlah tim kita kalah hari ini, tapi toh esok dunia tidak serta merta runtuh. Ini semua hanyalah hiburan belaka, tidak punya koneksi langsung terhadap kehidupan kita."

Apakah dengan demikian, serta merta pertunjukkan fanatisme dari para penonton Eurobasket adalah keliru? Tidak juga. Memang ada orang yang senang melihat panggung dan segala latarnya, sebagai sesuatu yang menentukan hidup-matinya. Ia dengan sangat bersemangat meneriakkan yel-yel tanpa henti karena panggung tersebut tidak lain adalah juga proyeksi dari kehidupannya (Jika tim basket Barcelona kalah, maka ia merasa bahwa harga diri Catalunya-nya juga turut dinistakan). Pada akhirnya, kita bebas memilih: Mau menjalani hidup seperti penonton NBA, atau penonton Eurobasket?  




Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1